Sunday 26 August 2012

PENGALAMAN SEX PERTAMA


Sebelum kutulis kisahku, ada baiknya kucerita masa laluku, untuk memahami betapa dulu aku tidak begini. Aku lahir dari keluarga (yang menurutku) baik-baik. Tidak ada gen atau perilaku orangtua yang seperti aku sekarang ini. Masa kecilku aku lalui dengan seorang Ibu yang sanga menyayangi. Ayahku lebih dahulu dipnaggil Tuhan saat aku menjelang masuk TK. Bisa dibayangkan, saat aku sangat mebutuhkan kasih sayang seorang ayah, saat itu ia dipanggil yang empunya kehidupan. Namun demikian, walau dikesendiriannya, ibu mampu memberi kasih sayang kepadaku dan adik lelaki satu-satunya.
Sebenarnya aku berdarah campuran, karena ayahku seorang warga keturunan Tionghoa sedangkan ibu orang Manado (tepatnya Tomohon). Kami dibesarkan di daerah Tuminting, Kota Manado. Kasih sayang dan kesetiaan ibu terhadap ayahku luar biasa, ini ditunjukan dengan kesendiriaannya sebagai janda dalam membesarkan kami.
Walaupun ada darah Chinese, tapi aku bukan seperti keturunan Tionghoa lainnya yang punya duit. Kami hidup sederhana karena konon Ayahku dibuang oleh keluarganya karena kawin dengan ibuku yang tidak disetujui keluarga ayahku. Praktisnya, aku tidak mengenal saudara dari pihak Bapak. Dalam keserhanaan inilah kami dibesarkan dengan dukungan gaji ibu sebagai PNS golongan II serta rumah peninggalan ayah yang kami jadikan rumah kost.
Selama menempuh masa remaja, tidak banyak yang kualami sampai akhirnya memasuki masa kuliah.
Untuk membantu orang tua, aku memilih menjadi guru dengan pilihan studi di PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) diploma II. Kebetulan kos-kosan orangtuaku berada di kota pendidikan (+30 menit dari Manado) jadi aku bebas uang kos. Setiap Seni – Jumat aku di sana (skalian jaga tempat kos) Sedangkan sabtu minggu aku di Manado bersama adik dan Ibuku.
Di tempat kost ini aku mengenal seorang pria (kemudian jadi suamiku) dia berasal dari kota L di Sulawesi Tengah. Datang merantau dan kuliah S1 di kota-ku. Singkat kata karena kebersamaan kami jadian dan pacaran. Pacarku ini, berasal dari keluarga yang alim sehingga kehidupan pacaranpun tidak sampai ke tempat tidur karena dia takut aku hamil (tentunya aku juga begitu).
Namun suatu kali, kami begitu “hot” dalam bermesraan, entah bagaimana mulainya, aku berhasil ditelanjangi tingal celana dalam. Upaya Roni (pacarku itu) rupanya membuat dia sangat bernapsu hinggga saat dia berhasil menempelkan “anu-nya” tepat di depan vaginaku, spermanya keluar dan mengotori tempat tidur dan dadaku.
Aku kaget dan menangis sejadi-jadinya. Kukira akan segera hamil (kemudian aku tahu, pacarku ini gampang ejakulasi). Walaupun tidak ngerti, sejak itu kami sering melakukan atau tepatnya membantu Roni beronani. Baik dengan bertelanjang (kemaluannya dijepit di antara pahaku) maupun dengan cara oral (aku menghisap kemaluannya) selama melakukan itu aku tidak pernah merasakan yang namanya kepuasan karena Roni yang ejakulasi dini.
Kehidupan sex seperti ini berlanjut terus hingga akhirnya aku menjadi istrinya (kami kawin di tempat orangtuanya Roni di Sul-teng). Malam pertama kulalui dengan biasa-biasa saja selain rasa sakit dan enak tapi tidak tertuntaskan. Lain dengan suamiku yang berhasil ejakulasi sebanyak tiga kali. Ia begitu puas dan bangga karena berhasil menjebol keperawananku. Malam itu aku sempat berpikir, apa sih enaknya bersetubuh? Kenapa orang lain (maksudku perempuan) begitu menikmatinya sampai-sampai berselingkuh? Malam itu aku tidak menemukan jawabannya begitu hari-hari selanjutnya. Bagiku sex adalah menumpahkan sperma suami dalam vaginaku, atau mulutku.
Hari-hariku berlanjut sebagaimana biasa sampai aku bersama suami diangkat sebagai Guru PNS (aku di SD Sedangkan suami di SMP) di Sulawesi Tengah. Kesibukanku menjadi lebih bervariasi, tidak hanya menjadi teman tidur dan pemuas napsu tetapi mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan belajar-mengajar.
Belum setahun aku mengabdi (tahun 2003 diangkat jadi PNS) aku mendapat informasi bahwa guru SD harus seorang Sarjana dan saat yang sama dibuka peluang untuk ikut program penyetaraan guru. Kabarnya pemerintah akan menaikan taraf hidup guru asalkan gurunya memiliki kompeten kesarjanaan. Suamikulah yang mendorong aku kuliah dan meninggalkan keluarga. Aku memilih kuliah di Sul-Teng supaya tidak jauh dengan suami walaupun kami belum memiliki anak tetapi aku selalu rindu untuk dekat dengan suamiku.

No comments:

Post a Comment